Jumat, 27 Februari 2015

Politik Transaksional dalam Pemilu

Diposting oleh Unknown di 14.06


POLITIK TRANSAKSIONAL DALAM PEMILU
Tema : Dampak Politik Transaksional dalam Pemilu
Disusun untuk Memenuhi Tugas  Akhir Mata Kuliah: Konsep PKn
Dosen Pengampu: Wawan Shokib Rondli, S.Pd., M.Pd.




Disusun oleh :

Nisa Adi Komala             (201333083)

Kelas II B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2014


Kata Pengantar

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Politik Transaksional Pemilu.
Makalah ini saya ajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Konsep PKn. Makalah ini saya susun berdasarkan data-data yang saya peroleh dari referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam penyampaian materi maupun penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi perbaikan makalah ini.
Saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semuanya.


Daftar isi
Kata Pengantar....................................................................................................... 2
Daftar isi................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
A. Latar Belakang............................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 4
C. Tujuan......................................................................................................... 4
D. Manfaat....................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 5
A.    Pengertian Politik Transaksional dalam Pemilu.......................................... 5
B.     Fenomena Transaksional Politik..................................................................
C.     Dampak Negatif dari Politik Transaksional dalam Pemilu......................... 5
D.    Solusi untuk Mengatasi Politik Transaksional dalam Pemilu...................... 5
BAB III PENUTUP............................................................................................... 6
A. Simpulan..................................................................................................... 6
B. Saran........................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 9

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem politik dan demokrasi di Indonesia saat ini menciptakan politik transaksional dengan biaya tinggi. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa menyentuh seluruh aktivitas politik. Bukan hanya pilpres, tapi juga pileg, pilkada, saat pengambilan kebijakan penguasa dan lainnya. Biaya  dikeluarkan saat Pemilu menjadi beban yang harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka seperti yang sekarang diterapkan di Indonesia, menimbulkan biaya tinggi karena terjadi  persaingan antar calon-calon penguasa baik dalam pilpres, pileg ataupun pilkada. Contohnya dalam pileg yang sudah berlangsung, persaingan terjadi bukan hanya antar Caleg beda Parpol, tapi sesama Caleg dalam satu Parpol pun terlibat persaingan. Persaingan yang terjadi antar Caleg membuat masing-masing Caleg berusaha sekuat tenaga menebar pengaruh pada publik untuk mendapat suara terbanyak. Untuk itu, cara-cara yang ditempuh Caleg ialah melakukan money politik untuk kalangan masyarakat biasa atau menggunakan imbalan jabatan untuk kalangan elite politik. Tindakan ini dapat membahayakan Negara Indonesia, karena dikhawatirkan tindakan yang jelas-jelas salah dimata hukum, akan diterima menjadi tindakan yang wajar oleh masyarakat, karena sudah sering terjadi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan politik transaksional dalam pemilu?
2.      Bagaimana fenomena politik transaksional yang terjadi di tahun demokrasi?
3.      Apasajakah dampak negatif dari politik transaksional dalam pemilu?
4.      Bagaimana solusi untuk mengatasi politik transaksional dalam pemilu?
C.    Tujuan
A.    Untuk mengetahui maksud dari politik transaksional dalam pemilu.
B.     Untuk mengetahui fenomena politik transaksional yang terjadi di tahun demokrasi.
C.     Untuk mengetahui dampak negatif dari politik transaksional dalam pemilu.
D.    Untuk mengetahui solusi untuk mengatasi politik transaksional dalam pemilu.
D.    Manfaat
1.      Dapat  mengetahui maksud politik transaksional dalam pemilu.
2.      Dapat mengetahui fenomena politik transaksional.
3.      Dapat mengetahui dampak negatif dari politik transaksional dalam pemilu.
4.      Dapat mengetahui solusi untuk mengatasi politik transaksional dalam pemilu.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Maksud Politik Transaksional dalam Pemilu
Politik transaksional, sering kita mendengar istilah tersebut. Secara gamblang, orang yang cukup berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Jikalau dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Namun dalam transaksional politik, ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Meskipun begitu, tidak selalu uang yang digunakan dalam transaksi politik, dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan orang lain. Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon bupati, maka Partai B mengusung calon wakil bupati. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif. Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud politik transaksional merupakan suatu pembagian kekuasaan politik atau pemberian dalam bentuk barang, uang, jasa, maupun kebijakan tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi seorang atau lebih dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Yang di Indonesia Politik transaksional lebih dikenal sebagai istilah yang lebih diidentikan dengan pemilu. Politik transaksional diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik , membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram (racketeering).

B.     Fenomena Politik Transaksional
Memasuki Tahun 2014 merupakan tahun politik Nasional, Pesta Demokrasi 5 tahunan ini telah menunjukkan kemeriahannya sejak awal desember 2013. bahkan jauh sebelumnya, persaingan telah terjadi di kalangan politisi nasional yang menampilkan berbagai jurus pamungkasnya.
Dapat kita cermati, dalam perjalanan politik menjelang 2014 seluruh partai telah memunculkan tokoh-tokoh yang di anggap mampu mendongkrak elektabilitas partai ,menyusun visi-misi yang pro rakyat, melaksanakan bhakti masyarakat seolah menunjukkan kepedulian terhadap rakyat yaitu dengan turun langsung ke masyarakat baik dengan memberikan bantuan sosial pada bencana, menyediakan ambulan gratis yang di tempatkan di seluruh posko atau sekretariat partai dan sebagainya yang jauh sebelum tahun 2013 nyaris tidak terlihat.
Hal diatas dianggap sebagai proses pencitraan oleh sebagian tokoh politik maupun masyarakat secara luas. Tak jarang antara partai dan tokoh tokoh yang ada didalammnya kemudian terjadi Politik Jegal. artinya pada era terahir pemberitaan di televisi justru yang tampilkan adalah bagaimana para stake holder dan para pengurus partai kemudian menjadi biang kehancuran Bangsa, tindakan korupsi merupakann satu Fenomena yang luar biasa marak dilakukan. Borok para politisi dan partai ini kemudian di kritisi dan di caci maki oleh para politisi lain yang tergabung dalam partai yang sama.
Fenomena diatas merupakan salah satu alasan mengapa rakyat menjadi Paranoid terhadap Politik. Apatisme terhadap kemampuan partai dalam memperjuangkan hak-hak rakyat menjadi sirna.
Disamping itu, munculnya rasa trauma rakyat terhadap Janji Politik sebelumnya. Ketidak mampuan wakil yang dipilihnya untuk duduk di lembaga legislatif untuk memperjuangkan hak-hak rakyat dianggap sebagai penghianatan terhadap amanah yang telah di berikan.
Hal Lain yang mengubah Paradigma rakyat adalah sebelum memasuki pemilihan Lembaga legislatif telah terlaksana pesta demokrasi yang memilih para pemimpin-pemimpin daerah (PILKADA). Kerakusan para calon kepala deaerah mendorong berbagai upaya dan cara pun di tempuh untuk menggapai kemenangan. sudah merupakan rahasia umum bahwa untuk menjadikan sesorang menjadi kepala daerah tidaklah gratis.
Fenomena transaksi politik dan pragtisme politik kemudian menjamur luas di kalangan masyarakat alasan pertama bisa dilihat dari sisi pemimpinnya sendiri, yang memang dari awal memberikan berbagai hadiah, berupa amplop dan sembako kepada masyarakat untuk meraih simpati publik.
Ini kemudian menimbulkan kebiasaan berulang, yang kemudian akhirnya masyarakat pun menjadikan itu sebagai kebiasaan yang harus diberikan oleh calon-calon yang akan bertarung dalam pemilu atau pilkada.
Pemilihan umum (pemilu) adalah suatu mekanisme yang berfungsi sebagai sarana pelaksanaan demokrasi. Namun, tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis. Hal itu terbukti menjelang pemilu 2014, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah banyak menemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu, seperti money politics, black campaign, kampanye tidak sesuai jadwal, kampanye barbau sara, kampanye menggunakan fasilitas negara, dll. Lebih dari itu, parpol yang sebenanya menjadi alat untuk memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat juga telah berubah menjadi tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elite politik yang berkuasa. Karena sejak mulai proses perekrutan, mayoritas parpol hanya membuka pintu bagi mereka yang memiliki modal finansial dan modal selebriti untuk diberi kesempatan maju sebagai calon pemimpin, maka munculnya perilaku koruptif dari kader parpol tidak terhindarkan.
Sungguh ironis, sering sekali rakyat melihat ungkapan para politisi yang berteriak lantang ingin memberantas korupsi, padahal dirinya sendiri yang terlibat korupsi. Hal itu terlihat dari sebagian besar kasus korupsi, seperti kasus century, kasus cek pelawat, kasus wisma atlet, kasus hambalang, kasus daging impor, dan kasus korupsi lainnya. Semua aktornya adalah mayoritas dari kalangan oknum kader parpol yang duduk di pemerintah, anggota parlemen sampai pemimpin di tingkat daerah.

C.    Dampak Negatif Politik Transaksional dalam Pemilu
Dalam kamus politik kapitalisme, politik dipandang sebagai seni mendapat kekuasaan dengan modal besar walaupun kadang minus gagasan. Konsekuensi paham politik yang demikian, berbagai cara pun digunakan untuk merengkuhnya. Salah satu cara dengan praktik politik transaksional.
Politik transaksional juga biasa disebut politik dagang. Dari namanya, maka ada transaksi untuk menjual dan membeli. Di sini tentu dibutuhkan alat pembayaran jual-beli tersebut, baik berupa jabatan, uang, ataupun lainnya. Jadi, politik uang menjelang pemilu merupakan salah satu bagian dari politik transaksional. Menurut Mantan Menko Kesra 2004-2005 (Alwi Syihab), praktik politik ini mulai subur semenjak pemilu tahun 50-an. Dalam sistem presidensial, presiden terpilih akan menjatah menteri kepada anggota koalisi, bukan oposisi. Jika ada jatah menteri untuk oposisi, akan didorong menjadi anggota koalisi baru. Dalam hal ini, penguasa berupaya merangkul banyak kekuatan untuk menjaga rezim.
Sejatinya mereka selaku calon wakil rakyat, haruslah terpilih dengan cara yang benar agar nantinya juga bisa bekerja dengan benar sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Jika terpilihnya mereka sebagai wakil rakyat karena hasil dari politik transaksional, maka sudah bisa dipastikan akan berimplikasi pada kondisi negatif perpolitikan dalam pemerintahan, diantaranya sebagai berikut :
1.      Politik transaksional dapat menciptakan pemimpin transaksional. Kepala negara model ini teramat doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik, maupun pihak-pihak lain. Alhasil implementasi kebijakan penguasa ini banyak tidak berpihak kepada rakyat. Contoh, kebijakan liberalisasi migas dan penjualan aset negara.
2.      Dalam politik transaksional, pelepasan suara dari penjual ke pembeli akan diikuti oleh proses berikutnya. Mereka yang berhasil mendapatkan suara terbanyak,  dan menduduki jabatan tertentu, maka akan berusaha mencari pengembalian uang yang telah dibayarkan sebelumnya dengan berbagai cara. Modal yang telah dilepas sebelumnya harus kembali, bagaimanapun caranya. Berawal dari proses seperti itulah yang melahirkan kasus-klasus korupsi di mana-mana. Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional tersebut menjadikan korupsi kian tak terkendali. Hari demi hari, masyarakat selalu disuguhi pemberitaan korupsi para pejabat. Sistem hukumnya sendiri masih lemah dari awal sehingga makin sulit mengatasi persoalan hukum yang muncul. Ketika kekuasaan memerlukan finansial besar untuk membiayai transaksi-transaksi politik, implikasinya mereka akan terus berusaha untuk mencari cara mengembalikan modal. Lebih dari itu, politik transaksional akan menjadikan lemahnya penegakan hukum. Governance World Bank (GWB) tahun 2011 pernah membeberkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. GWB menyoroti kinerja pemerintah dari beberapa kasus, seperti penanganan Bank Century, cicak-buaya, mafia hukum seperti suap para hakim, dan lumpur Lapindo. Dalam kasus-kasus tersebut disinyalir ada politik saling sandera. Ini merupakan efek politik transaksional.
3.      Adanya korporasi antara pengusaha dan politikus. Gejala paling menonjol yang melanda parpol, masuknya para pengusaha di jajaran puncak pimpinan partai. Sudah bukan rahasia, dalam politik transaksional, akan terdapat simbiosis mutualistis antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk kepentingan bisnis, sementara para politikus memerlukan dukungan dana guna membiayai kegiatan politik. Namun, membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti itu kini dipandang tidak praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan lebih ringkas jika kedudukan politik ada di tangan pengusaha. Sebaliknya, jaringan bisnis dimiliki seorang politikus. Dengan kata lain, akan lebih manjur bila pengusaha seorang penguasa atau penguasanya seorang pengusaha. Tampaknya inilah tren atau kecenderungan yang mewarnai peta perpolitikan pada masa mendatang.
4.      Secara emosional politik ideologis, masyarakat pemilih caleg bersangkutan jika kelak terpilih, tidak akan memiliki keterhubungan ideologi pada misi dan program terhadap Partai dari caleg bersangkutan. Betapa tidak, karena hubungan mereka sudah laksana beli putus pada saat bertransaksi. Dengan kata lain, harga suara rakyat perorang hanya dihargai senilai sekian ratus ribu (sebagaimana harga pasaran satu suara).
5.      Maraknya praktik politik transaksional pada proses keterpilihan (bukan keterwakilan) para caleg, merupakan kejahatan politik dalam demokrasi. Kejahatan politik itu, sudah pasti mencederai proses demokrasi yang pada akhirnya melahirkan demokrasi yang cacat.
6.      Praktik politik transaksional tersebut, jelas merupakan pembodohan politik rakyat yang pada akhirnya mengikis kesadaran politik masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas, rasional dan kritis. Akibatnya, praktik demokrasi yang lebih bermakna secara subtansial semakin sulit tercapai.
7.      Pada akhirnya, sebuah politik transaksional akan melahirkan para politisi yang jauh dari standar kualitas. Mereka akan jauh dari penghayatan dan penghargaan makna kerja keras perjuangan politik yang empati dan simpati yang bertumpu pada kaidah moral etik dan estetika dalam berpolitik. Atau bisa dikatakan politik transaksional akan memunculkan pejabat yang tidak berintegritas. Banyak pejabat yang sejatinya tidak layak menduduki jabatan, tetapi terpilih karena didorong politik transaksional. Hasilnya, seperti terlihat dari evaluasi Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tahun 2012 lalu contohnya, yang telah diserahkan kepada presiden. Banyak kementerian yang kinerjanya mendapat rapor merah. Lebih dari itu, kinerja anggota DPR 2009-2014 juga buruk. Tentu ini menjadi ironi. Terlepas adanya indikasi motif politik dari lembaga tersebut, namun secara kasat mata terlihat kinerja para menteri dan anggota DPR tidak mampu menaikkan tingkat kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.
Ketujuh akibat dari politik transaksional tersebut, masih bisa bertambah seiring dengan tak terkendalinya perilaku politik transaksional di tengah masyarakat yang kemudian bermutasi secara kreatif inovatif di tubuh pemerintahan kelak.

D.    Solusi untuk Mengatasi Politik Transaksional dalam Pemilu
Untuk mengatasi jangan sampai modus vivendi dan operandi politik transaksional semakin marak dan melazim di tengah masyarakat, maka setidaknya kita membutuhkan gerakan dalam bentuk kampanye melawan politik transaksional.
Gerakan tersebut, haruslah melibatkan peran serta parpol dengan segenap politisinya sebagai aktor utama dalam kontestasi politik pemilu. Parpol harus mengambil peran utama dalam mengeliminasi trend politik transaksional. Caranya, adalah dengan secara sistematis, terstruktur dan massif melakukan pendidikan politik dalam rangka membangun konstituen partai.
Salah satu hal subtansial yang urgen sebagai materi pendidikan politik adalah agar rakyat mengetahui hak-hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara. Demikian juga dengan kesadaran yang didukung oleh pengetahuan dan informasi benar untuk memilih secara bertanggung jawab partai politik pilihannya.
Di sisi lain, hasil pendidikan politik tersebut, tentu melahirkan kader politik partai yang bisa memahami dan menghayati ideologi partai. Dari sinilah partai memulai proses rekruitmen yang nantinya bisa mengartikulasikan kepentingan politik partai dalam posisi dan kapasitasnya sebagai Caleg partai. Dengan demikian, penyusunan caleg partai memiliki mekanisme baku dan tidak instan. Tidak lagi asal memasang orang yang tidak jelas komitmen, kapasitas, kompetensi dan integritasnya.
Hal lainnya yang juga tentunya dipandang penting dalam mengatasi praktik politik transaksional, adalah dengan mendorong penyelenggara dan pengawas pemilu beserta aparat terkait dalam hal penyelenggaraan pemilu, untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara progressif kreatif dan inovatif demi terselenggaranya pemilu yang berkualitas.
Hal terakhir yang tentunya tidak kalah pentingnya, adalah sejauhmana media massa melakukan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang keempat. Media wajib independen, objektif dan netral secara profesional. Dan, bilamana harus berpihak, maka pemihakan itu hanya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat semata.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Adanya praktek politik transaksional dalam pemilu membuat masalah tersendiri yang tidak bisa diselesaikan begitu saja. Karena sudah mengakar dan sudah dianggap biasa terjadi. Hal yang salah namun masyarakat menganggapnya wajar. Para calon pemimpin pemerintahan dan calon wakil rakyat hanya bisa memberi janji saja ditengah kampanyenya, dan sudah menjadi biasa jika suara rakyat dibeli dengan materi, jasa ataupun pengganti lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa tidak bekerjanya demokrasi yang diakibatkan oleh konspirasi yang berbasis politik transaksional dan mengarah pada perilaku korupstif. Sebuah realitas politik yang mempertukarkan kekuasaan dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dan memuluskan kebijakkan-kebijakkan tertentu hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Hal semacam inilah yang akan membahayakan bangsa Indonesia, jika pelakunya tidak ditindak secara tegas.

B.     Saran
Kondisi politik akan menjadi lebih baik apabila semua pilar-pilar demokrasi kembali kepada tujuan dan cita-cita mulianya, yaitu semua demi kepentingan rakyat. Sehingga harapan pada pemilu, dapat menghasilkan pemimpin yang betul-betul berkualitas dan berintegritas.  Pada akhirnya dapat menghadirkan sebuah Negara demokratis yang menjadi harapan seluruh rakyat.
           



DAFTAR PUSTAKA

AZhar, Anang Anas. Demokrasi Transaksional.

Gaffar, Affan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hasan, Aswar. 2014. Pemilu Legislatif Di Bawah Bayang-bayang Politik Transaksional.
http://makassar.tribunnews.com/2014/02/20/pemilu-legislatif-di-bawah-bayang-bayang-politik-transaksional (7 Juni 2014)

Pahlevi, Muamar Riza. 2012. Politik Transaksional.

Phase, Malau. Fenomena Politik Transaksional.

Post, Laras. Politik Transaksional Lahirkan Pemerintahan Korup. http://www.laraspostonline.com/2014/04/politik-transaksional-lahirkan.html (9 Juni 2014)

Purnamasari, Desy. 5 Faktor Perusak Demokrasi Indonesia.

Sumaryono. Dampak Politik Transaksional.

Suprayogo, Imam. Politik Transaksional.

Zaenal, Achmad. Caleg Terpilih Harus Bertobat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Senyum Terbaikqu Karena Pesan Sukses Darimu Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Online Shop Vector by Artshare