POLITIK TRANSAKSIONAL DALAM PEMILU
Tema
: Dampak Politik Transaksional dalam Pemilu
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah: Konsep
PKn
Dosen
Pengampu: Wawan Shokib Rondli, S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh :
Nisa
Adi Komala (201333083)
Kelas II
B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2014
Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah Politik Transaksional Pemilu.
Makalah ini saya ajukan untuk
memenuhi tugas akhir mata kuliah Konsep PKn. Makalah ini saya susun berdasarkan
data-data yang saya peroleh dari referensi-referensi
serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam penyampaian materi maupun penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
saya harapkan demi perbaikan makalah ini.
Saya sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semuanya.
Daftar
isi
Kata Pengantar....................................................................................................... 2
Daftar isi................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
A. Latar
Belakang............................................................................................ 4
B. Rumusan
Masalah....................................................................................... 4
C. Tujuan......................................................................................................... 4
D. Manfaat....................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 5
A. Pengertian
Politik Transaksional dalam Pemilu.......................................... 5
B. Fenomena
Transaksional Politik..................................................................
C. Dampak
Negatif dari Politik Transaksional dalam Pemilu......................... 5
D. Solusi
untuk Mengatasi Politik Transaksional dalam Pemilu...................... 5
BAB III PENUTUP............................................................................................... 6
A. Simpulan..................................................................................................... 6
B. Saran........................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 9
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem
politik dan demokrasi di Indonesia saat ini menciptakan politik transaksional
dengan biaya tinggi. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa
menyentuh seluruh aktivitas politik. Bukan hanya pilpres, tapi juga pileg,
pilkada, saat pengambilan kebijakan penguasa dan lainnya. Biaya dikeluarkan saat Pemilu menjadi beban yang
harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Pelaksanaan pemilu dengan sistem
proporsional terbuka seperti yang sekarang diterapkan di Indonesia, menimbulkan
biaya tinggi karena terjadi persaingan
antar calon-calon penguasa baik dalam pilpres, pileg ataupun pilkada. Contohnya
dalam pileg yang sudah berlangsung, persaingan terjadi bukan hanya antar Caleg
beda Parpol, tapi sesama Caleg dalam satu Parpol pun terlibat persaingan.
Persaingan yang terjadi antar Caleg membuat masing-masing Caleg berusaha sekuat
tenaga menebar pengaruh pada publik untuk mendapat suara terbanyak. Untuk itu,
cara-cara yang ditempuh Caleg ialah melakukan money politik untuk kalangan
masyarakat biasa atau menggunakan imbalan jabatan untuk kalangan elite politik.
Tindakan ini dapat membahayakan Negara Indonesia, karena dikhawatirkan tindakan
yang jelas-jelas salah dimata hukum, akan diterima menjadi tindakan yang wajar
oleh masyarakat, karena sudah sering terjadi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan politik transaksional dalam pemilu?
2. Bagaimana
fenomena politik transaksional yang terjadi di tahun demokrasi?
3. Apasajakah
dampak negatif dari politik transaksional dalam pemilu?
4. Bagaimana
solusi untuk mengatasi politik transaksional dalam pemilu?
C. Tujuan
A. Untuk
mengetahui maksud dari politik transaksional dalam pemilu.
B. Untuk
mengetahui fenomena politik transaksional yang terjadi di tahun demokrasi.
C. Untuk
mengetahui dampak negatif dari politik transaksional dalam pemilu.
D. Untuk
mengetahui solusi untuk mengatasi politik transaksional dalam pemilu.
D. Manfaat
1. Dapat mengetahui maksud politik transaksional dalam
pemilu.
2. Dapat
mengetahui fenomena politik transaksional.
3. Dapat
mengetahui dampak negatif dari politik transaksional dalam pemilu.
4. Dapat
mengetahui solusi untuk mengatasi politik transaksional dalam pemilu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Maksud
Politik Transaksional dalam Pemilu
Politik transaksional,
sering kita mendengar istilah tersebut. Secara gamblang, orang yang cukup
berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti politik
dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya
membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Jikalau dalam jual-beli,
maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Namun dalam transaksional
politik, ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi
politik tersebut. Meskipun begitu, tidak selalu uang yang digunakan dalam
transaksi politik, dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga
berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Dalam praktek politik
praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik
adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik
kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi
juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan.
Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi
kekuasaan dengan orang lain. Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan
dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan
adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi
dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika
dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik
itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Ketika baru tahapan
koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa
saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon bupati, maka Partai B
mengusung calon wakil bupati. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan
mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi,
akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu
akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif. Namun ketika pembagian
kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal
lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang.
Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud politik transaksional merupakan suatu
pembagian kekuasaan politik atau pemberian dalam bentuk barang, uang, jasa, maupun
kebijakan tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi seorang atau lebih dan
untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik
yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Yang di Indonesia Politik
transaksional lebih dikenal sebagai istilah yang lebih diidentikan dengan
pemilu. Politik transaksional diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam
rangka mempengaruhi pemilih. Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik
transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis
praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik , membeli
suara (vote buying) hingga kegiatan haram (racketeering).
B.
Fenomena
Politik Transaksional
Memasuki Tahun 2014
merupakan tahun politik Nasional, Pesta Demokrasi 5 tahunan ini telah
menunjukkan kemeriahannya sejak awal desember 2013. bahkan jauh sebelumnya,
persaingan telah terjadi di kalangan politisi nasional yang menampilkan
berbagai jurus pamungkasnya.
Dapat kita cermati,
dalam perjalanan politik menjelang 2014 seluruh partai telah memunculkan
tokoh-tokoh yang di anggap mampu mendongkrak elektabilitas partai ,menyusun
visi-misi yang pro rakyat, melaksanakan bhakti masyarakat seolah menunjukkan
kepedulian terhadap rakyat yaitu dengan turun langsung ke masyarakat baik
dengan memberikan bantuan sosial pada bencana, menyediakan ambulan gratis yang
di tempatkan di seluruh posko atau sekretariat partai dan sebagainya yang jauh
sebelum tahun 2013 nyaris tidak terlihat.
Hal diatas dianggap
sebagai proses pencitraan oleh sebagian tokoh politik maupun masyarakat secara
luas. Tak jarang antara partai dan tokoh tokoh yang ada didalammnya kemudian
terjadi Politik Jegal. artinya pada era terahir pemberitaan di televisi justru
yang tampilkan adalah bagaimana para stake holder dan para pengurus partai
kemudian menjadi biang kehancuran Bangsa, tindakan korupsi merupakann satu
Fenomena yang luar biasa marak dilakukan. Borok para politisi dan partai ini
kemudian di kritisi dan di caci maki oleh para politisi lain yang tergabung
dalam partai yang sama.
Fenomena diatas
merupakan salah satu alasan mengapa rakyat menjadi Paranoid terhadap Politik.
Apatisme terhadap kemampuan partai dalam memperjuangkan hak-hak rakyat menjadi
sirna.
Disamping itu,
munculnya rasa trauma rakyat terhadap Janji Politik sebelumnya. Ketidak mampuan
wakil yang dipilihnya untuk duduk di lembaga legislatif untuk memperjuangkan
hak-hak rakyat dianggap sebagai penghianatan terhadap amanah yang telah di
berikan.
Hal Lain yang mengubah
Paradigma rakyat adalah sebelum memasuki pemilihan Lembaga legislatif telah
terlaksana pesta demokrasi yang memilih para pemimpin-pemimpin daerah
(PILKADA). Kerakusan para calon kepala deaerah mendorong berbagai upaya dan
cara pun di tempuh untuk menggapai kemenangan. sudah merupakan rahasia umum
bahwa untuk menjadikan sesorang menjadi kepala daerah tidaklah gratis.
Fenomena transaksi
politik dan pragtisme politik kemudian menjamur luas di kalangan masyarakat
alasan pertama bisa dilihat dari sisi pemimpinnya sendiri, yang memang dari
awal memberikan berbagai hadiah, berupa amplop dan sembako kepada masyarakat
untuk meraih simpati publik.
Ini kemudian
menimbulkan kebiasaan berulang, yang kemudian akhirnya masyarakat pun
menjadikan itu sebagai kebiasaan yang harus diberikan oleh calon-calon yang
akan bertarung dalam pemilu atau pilkada.
Pemilihan umum (pemilu)
adalah suatu mekanisme yang berfungsi sebagai sarana pelaksanaan demokrasi.
Namun, tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis. Hal itu terbukti
menjelang pemilu 2014, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah banyak menemukan
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu, seperti money
politics, black campaign, kampanye tidak sesuai jadwal, kampanye barbau sara,
kampanye menggunakan fasilitas negara, dll. Lebih dari itu, parpol yang
sebenanya menjadi alat untuk memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat juga
telah berubah menjadi tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi
sekelompok elite politik yang berkuasa. Karena sejak mulai proses perekrutan,
mayoritas parpol hanya membuka pintu bagi mereka yang memiliki modal finansial
dan modal selebriti untuk diberi kesempatan maju sebagai calon pemimpin, maka munculnya
perilaku koruptif dari kader parpol tidak terhindarkan.
Sungguh ironis, sering
sekali rakyat melihat ungkapan para politisi yang berteriak lantang ingin
memberantas korupsi, padahal dirinya sendiri yang terlibat korupsi. Hal itu
terlihat dari sebagian besar kasus korupsi, seperti kasus century, kasus cek
pelawat, kasus wisma atlet, kasus hambalang, kasus daging impor, dan kasus
korupsi lainnya. Semua aktornya adalah mayoritas dari kalangan oknum kader
parpol yang duduk di pemerintah, anggota parlemen sampai pemimpin di tingkat
daerah.
C.
Dampak
Negatif Politik Transaksional dalam Pemilu
Dalam kamus politik kapitalisme,
politik dipandang sebagai seni mendapat kekuasaan dengan modal besar walaupun
kadang minus gagasan. Konsekuensi paham politik yang demikian, berbagai cara
pun digunakan untuk merengkuhnya. Salah satu cara dengan praktik politik
transaksional.
Politik transaksional juga biasa
disebut politik dagang. Dari
namanya, maka ada transaksi untuk menjual dan membeli. Di sini tentu dibutuhkan
alat pembayaran jual-beli tersebut, baik berupa jabatan, uang, ataupun lainnya.
Jadi, politik uang menjelang pemilu merupakan salah satu bagian dari politik
transaksional. Menurut Mantan Menko Kesra 2004-2005 (Alwi Syihab), praktik
politik ini mulai subur semenjak pemilu tahun 50-an. Dalam sistem presidensial,
presiden terpilih akan menjatah menteri kepada anggota koalisi, bukan oposisi.
Jika ada jatah menteri untuk oposisi, akan didorong menjadi anggota koalisi
baru. Dalam hal ini, penguasa berupaya merangkul banyak kekuatan untuk menjaga
rezim.
Sejatinya mereka selaku calon wakil
rakyat, haruslah terpilih dengan cara yang benar agar nantinya juga bisa
bekerja dengan benar sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Jika terpilihnya mereka sebagai wakil rakyat karena hasil dari politik
transaksional, maka sudah bisa dipastikan akan berimplikasi pada kondisi
negatif perpolitikan dalam pemerintahan, diantaranya sebagai berikut :
1.
Politik
transaksional dapat menciptakan pemimpin transaksional. Kepala negara model ini
teramat doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi
politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik, maupun pihak-pihak lain.
Alhasil implementasi kebijakan penguasa ini banyak tidak berpihak kepada
rakyat. Contoh, kebijakan liberalisasi migas dan penjualan aset negara.
2.
Dalam
politik transaksional, pelepasan suara dari penjual ke pembeli akan diikuti
oleh proses berikutnya. Mereka yang berhasil mendapatkan suara terbanyak, dan menduduki jabatan tertentu, maka akan
berusaha mencari pengembalian uang yang telah dibayarkan sebelumnya dengan
berbagai cara. Modal yang telah dilepas sebelumnya harus kembali, bagaimanapun
caranya. Berawal dari proses seperti itulah yang melahirkan kasus-klasus
korupsi di mana-mana. Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional
tersebut menjadikan korupsi kian tak terkendali. Hari demi hari, masyarakat
selalu disuguhi pemberitaan korupsi para pejabat. Sistem hukumnya sendiri masih
lemah dari awal sehingga makin sulit mengatasi persoalan hukum yang muncul.
Ketika kekuasaan memerlukan finansial besar untuk membiayai transaksi-transaksi
politik, implikasinya mereka akan terus berusaha untuk mencari cara
mengembalikan modal. Lebih dari itu, politik transaksional akan menjadikan
lemahnya penegakan hukum. Governance World Bank (GWB) tahun 2011 pernah
membeberkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. GWB menyoroti kinerja
pemerintah dari beberapa kasus, seperti penanganan Bank Century, cicak-buaya,
mafia hukum seperti suap para hakim, dan lumpur Lapindo. Dalam kasus-kasus
tersebut disinyalir ada politik saling sandera. Ini merupakan efek politik
transaksional.
3.
Adanya
korporasi antara pengusaha dan politikus. Gejala paling menonjol yang melanda
parpol, masuknya para pengusaha di jajaran puncak pimpinan partai. Sudah bukan
rahasia, dalam politik transaksional, akan terdapat simbiosis mutualistis
antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk
kepentingan bisnis, sementara para politikus memerlukan dukungan dana guna membiayai
kegiatan politik. Namun, membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti
itu kini dipandang tidak praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan
lebih ringkas jika kedudukan politik ada di tangan pengusaha. Sebaliknya,
jaringan bisnis dimiliki seorang politikus. Dengan kata lain, akan lebih manjur
bila pengusaha seorang penguasa atau penguasanya seorang pengusaha. Tampaknya
inilah tren atau kecenderungan yang mewarnai peta perpolitikan pada masa
mendatang.
4.
Secara
emosional politik ideologis, masyarakat pemilih caleg bersangkutan jika kelak
terpilih, tidak akan memiliki keterhubungan ideologi pada misi dan program
terhadap Partai dari caleg bersangkutan. Betapa tidak, karena hubungan mereka
sudah laksana beli putus pada saat bertransaksi. Dengan kata lain, harga suara
rakyat perorang hanya dihargai senilai sekian ratus ribu (sebagaimana harga
pasaran satu suara).
5.
Maraknya
praktik politik transaksional pada proses keterpilihan (bukan keterwakilan)
para caleg, merupakan kejahatan politik dalam demokrasi. Kejahatan politik itu,
sudah pasti mencederai proses demokrasi yang pada akhirnya melahirkan demokrasi
yang cacat.
6.
Praktik
politik transaksional tersebut, jelas merupakan pembodohan politik rakyat yang
pada akhirnya mengikis kesadaran politik masyarakat untuk menjadi pemilih yang
cerdas, rasional dan kritis. Akibatnya, praktik demokrasi yang lebih bermakna
secara subtansial semakin sulit tercapai.
7.
Pada
akhirnya, sebuah politik transaksional akan melahirkan para politisi yang jauh
dari standar kualitas. Mereka akan jauh dari penghayatan dan penghargaan makna
kerja keras perjuangan politik yang empati dan simpati yang bertumpu pada
kaidah moral etik dan estetika dalam berpolitik. Atau bisa dikatakan politik
transaksional akan memunculkan pejabat yang tidak berintegritas. Banyak pejabat
yang sejatinya tidak layak menduduki jabatan, tetapi terpilih karena didorong
politik transaksional. Hasilnya, seperti terlihat dari evaluasi Unit Kerja
Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tahun 2012 lalu
contohnya, yang telah diserahkan kepada presiden. Banyak kementerian yang
kinerjanya mendapat rapor merah. Lebih dari itu, kinerja anggota DPR 2009-2014
juga buruk. Tentu ini menjadi ironi. Terlepas adanya indikasi motif politik
dari lembaga tersebut, namun secara kasat mata terlihat kinerja para menteri
dan anggota DPR tidak mampu menaikkan tingkat kesejahteraan dan kemajuan
masyarakat.
Ketujuh akibat dari politik
transaksional tersebut, masih bisa bertambah seiring dengan tak terkendalinya
perilaku politik transaksional di tengah masyarakat yang kemudian bermutasi
secara kreatif inovatif di tubuh pemerintahan kelak.
D.
Solusi
untuk Mengatasi Politik Transaksional dalam Pemilu
Untuk mengatasi jangan
sampai modus vivendi dan operandi politik transaksional semakin marak dan
melazim di tengah masyarakat, maka setidaknya kita membutuhkan gerakan dalam
bentuk kampanye melawan politik transaksional.
Gerakan tersebut,
haruslah melibatkan peran serta parpol dengan segenap politisinya sebagai aktor
utama dalam kontestasi politik pemilu. Parpol harus mengambil peran utama dalam
mengeliminasi trend politik transaksional. Caranya, adalah dengan secara
sistematis, terstruktur dan massif melakukan pendidikan politik dalam rangka
membangun konstituen partai.
Salah satu hal subtansial yang urgen
sebagai materi pendidikan politik adalah agar rakyat mengetahui hak-hak dan
kewajiban politiknya sebagai warga negara. Demikian juga dengan kesadaran yang
didukung oleh pengetahuan dan informasi benar untuk memilih secara bertanggung
jawab partai politik pilihannya.
Di sisi lain, hasil
pendidikan politik tersebut, tentu melahirkan kader politik partai yang bisa
memahami dan menghayati ideologi partai. Dari sinilah partai memulai proses
rekruitmen yang nantinya bisa mengartikulasikan kepentingan politik partai
dalam posisi dan kapasitasnya sebagai Caleg partai. Dengan demikian, penyusunan
caleg partai memiliki mekanisme baku dan tidak instan. Tidak lagi asal memasang
orang yang tidak jelas komitmen, kapasitas, kompetensi dan integritasnya.
Hal lainnya yang juga
tentunya dipandang penting dalam mengatasi praktik politik transaksional,
adalah dengan mendorong penyelenggara dan pengawas pemilu beserta aparat
terkait dalam hal penyelenggaraan pemilu, untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya secara progressif kreatif dan inovatif demi terselenggaranya pemilu
yang berkualitas.
Hal terakhir yang
tentunya tidak kalah pentingnya, adalah sejauhmana media massa melakukan
fungsinya sebagai pilar demokrasi yang keempat. Media wajib independen,
objektif dan netral secara profesional. Dan, bilamana harus berpihak, maka
pemihakan itu hanya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat semata.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Adanya
praktek politik transaksional dalam pemilu membuat masalah tersendiri yang
tidak bisa diselesaikan begitu saja. Karena sudah mengakar dan sudah dianggap
biasa terjadi. Hal yang salah namun masyarakat menganggapnya wajar. Para calon
pemimpin pemerintahan dan calon wakil rakyat hanya bisa memberi janji saja
ditengah kampanyenya, dan sudah menjadi biasa jika suara rakyat dibeli dengan
materi, jasa ataupun pengganti lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
tidak bekerjanya demokrasi yang diakibatkan oleh konspirasi yang berbasis
politik transaksional dan mengarah pada perilaku korupstif. Sebuah realitas
politik yang mempertukarkan kekuasaan dengan posisi-posisi yang dapat
menguntungkan dan memuluskan kebijakkan-kebijakkan tertentu hanya demi
kepentingan pribadi dan kelompok. Hal semacam inilah yang akan membahayakan
bangsa Indonesia, jika pelakunya tidak ditindak secara tegas.
B.
Saran
Kondisi politik akan menjadi
lebih baik apabila semua pilar-pilar demokrasi kembali kepada tujuan dan cita-cita
mulianya, yaitu semua demi kepentingan rakyat. Sehingga harapan pada pemilu,
dapat menghasilkan pemimpin yang betul-betul berkualitas dan berintegritas. Pada akhirnya dapat menghadirkan sebuah
Negara demokratis yang menjadi harapan seluruh rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
AZhar,
Anang Anas. Demokrasi Transaksional.
Gaffar,
Affan. 2006. Politik Indonesia Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hasan,
Aswar. 2014. Pemilu Legislatif Di Bawah
Bayang-bayang Politik Transaksional.
http://makassar.tribunnews.com/2014/02/20/pemilu-legislatif-di-bawah-bayang-bayang-politik-transaksional
(7
Juni 2014)
Pahlevi, Muamar Riza. 2012. Politik
Transaksional.
Phase,
Malau. Fenomena Politik Transaksional.
Post,
Laras. Politik Transaksional Lahirkan
Pemerintahan Korup. http://www.laraspostonline.com/2014/04/politik-transaksional-lahirkan.html
(9
Juni 2014)
Purnamasari, Desy. 5 Faktor
Perusak Demokrasi Indonesia.
http://desypurnamasari.wordpress.com/2014/05/03/5-faktor-perusak-demokrasi-indonesia/ ( 7
Juni 2014)
Sumaryono.
Dampak Politik Transaksional.
Suprayogo, Imam. Politik
Transaksional.
http://smsbox.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3209:politik-transaksional&catid=25:artikel-imam-suprayogo
(16 juni 2014)
Zaenal,
Achmad. Caleg Terpilih Harus Bertobat.
0 komentar:
Posting Komentar