PANTUN
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Bahasa Indonesia
Keilmuan
Dosen Pengampu: Irfai Fathurohman,
S.Pd., M.Pd
Disusun oleh :
Kelompok 4
1.
Anggita
Widiastuti (201333056)
2.
Nisa
Adi Komala (201333083)
3.
Ray
Sakti Murdaya (201333088)
4.
Iin
Nanda Fitriani (201333098)
Kelas II
B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2014
Kata Pengantar
Puji Syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah Swt. berkat rahmat dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah perkuliahan mengenai sastra. Makalah ini diajukan sebagai salah satu
syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia Keilmuan.
Kami menyadari
pada saat penulisan makalah ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari
segala pihak. Karena itu kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Irfai
Fathurohman, S.Pd., M.Pd selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
Bahasa Indonesia Keilmuan (sastra) dan kepada teman-teman yang telah membantu
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari
bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kesalahan. Untuk itu diharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini. Demikian kiranya semoga laporan yang telah
dibuat ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan dan peningkatan ilmu
pengetahuan.
Kudus, 18
April 2014
Tim
Penyusun
Kelompok
IV
Daftar isi
Kata
Pengantar ................................................................................................................... 2
Daftar
isi ............................................................................................................................. 3
BAB
I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4
A. Latar
Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan ..................................................................................................................... 4
D. Manfaat ................................................................................................................... 5
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan ..................................................................................................................... 4
D. Manfaat ................................................................................................................... 5
BAB
II PEMBAHASAN .................................................................................................. 6
A. Pengertian
Pantun ................................................................................................... 6
B. Ciri-Ciri Pantun ....................................................................................................... 6
C. Teknik Penulisan Pantun.......................................................................................... 8
D. Teknik Berpantun ................................................................................................ 11
E. Penilaian Berpantun .............................................................................................. 12
B. Ciri-Ciri Pantun ....................................................................................................... 6
C. Teknik Penulisan Pantun.......................................................................................... 8
D. Teknik Berpantun ................................................................................................ 11
E. Penilaian Berpantun .............................................................................................. 12
BAB
III PENUTUP ......................................................................................................... 13
A. Simpulan
............................................................................................................... 13
B. Saran ..................................................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pantun termasuk karya sastra puisi lama dan merupakan puisi
asli Indonesia. Pantun
sering kita dengar di mana saja, dalam kegiatan sehari-sehari, dibeberapa
tempat pantun juga digunakan dalam acara-acara penting, bahkan sering kita dengar,
diradio ada acara yang mengkhususkan untuk berpantun. Pantun kerap kali kita
ketahui hanya sastra lisan semata, tetapi perlu diketahui bahwa pantun kini
terdapat pantun tertulis, pantun yang ditulis dikumpulkan, dan dipublikasikan
secara luas, tetapi pantun juga harus dibacakan secara lisan agar terlihat
nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Lebih-lebih
sastra pantun diajarkan sejak dari sekolah dasar sampai ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi lagi oleh karena itu kita harus memberikan sesuatu
yang bisa membuat sastra pantun tidak menjadi hal yang sulit untuk dipelajari
oleh semua orang. Maka dalam makalah ini kami akan memaparkan mengenai pantun,
dari mulai pengertian, ciri-ciri, teknik panulisan, teknik berpantun, dan
penilain berpantun yang baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dari pantun?
2. Bagaimanakah
ciri-ciri dari pantun?
3. Bagaimanakah
teknik penulisan pantun yang baik?
4. Bagaimanakah
teknik berpantun yang baik?
5. Bagaimanakah
teknik penilaian berpantun?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dari pantun.
2. Mengetahui
ciri-ciri pantun.
3. Mengetahui
teknik penulisan pantun.
4. Mengetahui
taknik berpantun.
5. Mengetahui
teknik penulisan pantun.
D. Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pantun
Dalam pengertian umum, pantun
merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan
kritik budaya masyarakat. Orang yang pertama kali membentangkan
pikiran dari hal pantun Indonesia adalah H.C. Klinkert dalam tahun 1868.
Karangannya bernama “De pantuns of minnenzangen der Maleier”. Sesudah
itu datang Prof. Pijnapple; juga beliau memaparkan pikirannya dari hal ini
dalam tahun 1883. Pantun tepat untuk suasana tertentu, seperti halnya juga
karya seni lainnya hanya tepat untuk suasana tertentu pula.
Pantun
adalah puisi asli Indonesia (Waluyo,1987:9). Namun, istilah pantun pernah
menjadi perdebatan sebagian pengamat sastra Indonesia. Sebagian dari mereka
menyatakan bahwa kata pantun berarti misal, seperti, umpama (pengertian semacam
ini termuat dalam Kamus Besar Indonesia).
Namun ada sebagian
orang yang menyatakan bahwa kata pantun berasal dari bahasa Jawa, yaitu pantun
atau pari. Baik pantun maupun pari sama-sama berarti padi dalam bahasa
Indonesia (Melayu).
Pendapat yang menyatakan bahwa kata pantun berasal dari
bahasa Jawa dikuatkan oleh adanya salah satu jenis puisi lisan Jawa yang mirip
pantun. Dalam kesusastraan Jawa, ikatan puisi yang mirip dengan pantun
dinamakan dengan parikan.
Bentuk parikan dalam kesusastraan Jawa bisa disejajarkan
dengan bentuk pantun dalam kesusastraan Melayu. Perbedaan antara parikan dan
pantun terletak pada jumlah larik tiap bait. Jika pantun terdiri empat baris,
parikan hanya terdiri dari dua baris.
Meskipun ada perbedaan dari para ahli mengenai asal usul
kata pantun, namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa parikan dan
pantun merupakan gubahan yang diuntai atau diikat oleh ikatan-ikatan tertentu.
Ikatan-ikatan inilah yang membedakan dengan bentuk karya sastra lisan yang lain
dan merupakan ciri khas yang mudah dikenali.
B.
Ciri-ciri
Pantun
Penyebaran pantun sampai jauh
ke bagian timur Indonesia seperti halnya di Aceh, pentun menduduki tempat
terpenting dalam upacara ataupun pertemuan tradisional. Di masyarakat Batak
pantun juga digunakan dalam upacara adat, di masyarakat Toraja, Maluku dan
Minangkabau pantun juga digunakan seperti halnya di Aceh dan Batak. Hal ini
menunjukkan jikalau pantun itu sangat disukai oleh orang Indonesia.
Pantun yang merupakan jenis puisi Melayu Lama
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Setiap
bait terdiri dari empat larik (baris).
2. Setiap
suku kata dalam setiap larik sama atau hampir sama (biasanya terdiri dari 8-12
suku kata)
3. Berirama
berakhiran ab-ab atau aa-aa.
4. Larik pertama
dan kedua berupa sampiran, yang biasanya tidak mempunyai hubungan atau
mengandung maksud, dan hanya diambil rimanya saja untuk mengantarkan maksud
yang akan dikeluarkan.
5. Larik
ketiga dan keempat disebut maksud atau (isi) pantun, yang merupakan tujuan dari
pantun tersebut, karena isi pantun mengandung pesan yang ingin disampaikan oleh
pemantun.
Para
ahli yang memiliki pantun mengemukakan pendapat mereka tentang pantun, khususnya yang
berkaitan dengan unsur sampiran dan isi. Mereka mengemukakan
pendapat tentang hubungan antara sampiran dan isi. Adapun beberapa
pendapat para peneliti pantun tentang
hubungan antara sampiran dan isi pantun adalah sebagai berikut.
Pendapat
pertama dikemukaan oleh H.C Klinkert, penulis De Pantoens of Minnezangen Der Maleiers ( pantun lagu cinta
orang-orang melayu) pada tahun 1868. H.C.Klinkert menyataan bahwa antara sampira dan isi ada hubungan
makna. Pendapat ini di tegaskan oleh Pijnappel pada tahun 1883. Pijnappel
menyatakan bahwa ada hubungan bunyi dan arti antara sampiran dan isi.
Pendapat
pijnappel di bantah oleh Ch. A. van Ophuysen yang menyatakan bahwa sia-sia
mencari hubungan antara sampiran dan isi pantun karna yang muncul pertama kali
dalam benak pengarang adalah isi, kemudian di carikan
sampiranya yang bersajak. Dengan demikian, Ch. A. van Ophuysen tampaknya tidak
begitu mempermasalhkan tentang ada atau
tidaknya hubungan makna antara sampiran dan isi pantun karena hal itu hanyalah sebuah tindakan yang sia-sia.
Seorang
peneliti lain bernama Hooykas rupanya lebih bersifat netral dalam memandang
apakah antara sampiran dan isi maknanya saling berhubungan atau tidak. Menurut
Hooykas , pada pantun yang baik ada hubungan makna yang tersembunyi dalam sampiran
dan isi, sedangkan pada pantun yang biasa atau yang kurang baik, hubungan
tersebut semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi.
Dalam
buku Puisi Lama, Sutan Takdir Alisjahbana menyantakan bahwa
hubungan antara sampiran dan isi hendaknya di pandang dalam kaitannya dengan
cara manusia mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Secara umum, manusia selalu
berusaha mengucapkan apa-apa yang dia pikirkan dan rasakan dengan
sebaik-baiknya menurut ukuran dia.
Adapun
dalam pantun, pikiran dan atau perasaan itu di tuangkan dalam 3 hal, yaitu
irama,bunyi dan isi. Namun, ketiga hal ini tidak selalu hadir bersama-sama
dalam sebuah pantun. Hanya irama yang selalu ada dalam setiap pantun.
Terlepas
dari masalah apakah ada hubungan makna antara sampiran dan isi,satu hal yang
harus diakui adalah bahwa isi pantun merupakan hal yang sangat penting. Isi
pantun dianggap penting karena isi pantun mengndung pesan yang ingin
disampaikan oleh sipemantun (penutur pantun). Dengan demikian, membahas pesan
apa yang terkandung dalam sebuah pantun adalah jauh lebih penting dari pada
sekadar memperdebatkan apakah ada hubungan makna antara sampiran dan isi.
Pantun
digunakan sesuai dengan kebutuhan atau posisi masing-masing kelompok
masyarakat. Seperti halnya pantun anak-anak biasanya dipakai saat bermain atau
digumamkan saat sedih. Pantun remaja/dewasa, khususnya pantun muda (pantun
cinta kasih), digunakan untuk dipakai dalam pertemuan adat sebagai selingan
penegas dalam berdialog atau berdebat. Selain itu, pantun orang tua juga
digunakan sebagai kias dan ibarat ketika orang tua menasehati anak/cucunya.
C.
Teknik
Penulisan Pantun
Untuk
menulis pantun, langkah-langkah yang perlu diperhatikan ialah sebagai berikut.
1.
Membuat
topik atau tema terlebih dahulu, sama halnya jika hendak membuat karangan yang
lain.
2.
Membuat isi pantun. Yaitu baris ke tiga dan ke
empat yang suku kata setiap barisnya 8-12 suku kata. Untuk pembuatan pantun
memang berbeda dengan karya satra yang lainnya, karena pembuatannya dari
belakang terlebih dahulu, yaitu dari isi maksud pantun tersebut.
3.
Membuat sampirannya, yaitu baris pertama dan
kedua yang setiap barisnya 8-12 suku kata.
4.
Dalam pembuatan sampiran dan isi perlu
diperhatikan dalam penyamaan sajak pada suku kata diakhir kalimat pantun
tersebut. Misalkan pada suku kata diakhir baris pertama sajaknya disamakan dengan
suku kata diakhir baris ke tiga. Begitu juga dengan baris ke dua dengan baris
ke empat.
Untuk contohnya
sebagai berikut. Membahas soal tema, tema dalam penulisan pantun sangat penting
sekali, karena dengan tema pantun-pantun yang dibuat oleh siswa akan lebih terarah
kepada sesuatu atau maksud yang diharapkan. Dan juga tidak akan merebak
kemana-mana, yang akhirnya dapat mendatangkan masalah. Memang diakui, adanya
sedikit pengekangan kreativitas bagi siswa dalam menulis pantun, jika
menggunakan tema yang sempit. Oleh karena itu, guru harus lebih bijaksana dalam
memilih tema yang didalamnya dapat mengandung atau mencakup berbagai
permasalahan keseharian. Tema yang cocok diberikan dalam proses pembelajaran
misalnya saja berkaitan dengan masalah politik, sosial budaya, percintaan, dan
kehidupan keluraga. Misalnya, tema tentang sosial budaya dengan mengambil topik
soal kebersihan kota atau masalah sampah.
Setelah
mendapat tema, bisa dilanjutkan dengan pembuatan isi pantun dengan dijabarkan
dalam kalimat terlebih dahulu. Kemungkinan jika dibuatkan kalimat biasa, boleh
jadi kalimatnya cukup panjang. Misalnya: ”Dikota yang semakin ramai dan
berkembang ini, ternyata mempunyai masalah lain yang sangat terkait dengan
masalah kesehatan warganya, yaitu sampah yang berserakan di mana-mana . . . dan
seterusnya.”
Kemudian bisa
diringkas dalam dua baris kalimat.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Jika isi pantun
sudah didapatkan, langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya. Walau kata
kedua dari suku akhir baris isi pertama dan kedua diberi tanda tebal. Namun
jangan hal itu yang menjadi perhatian, tapi justru yang harus diperhatikan
ialah pada suku akhir dari kata keempat baris pertama dan kedua, yaitu rak dan
tang, sebab yang hendak dicari ialah sajaknya atau persamaan bunyi.
Misalnya kata terakhir dalam sampirannya menggunakan kata merak pada baris pertama dan kata petang pada baris ke dua untuk persamaan bunyinya, maka sampirannya
bisa ditulis seperti berikut.
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.
Kemudian antara
sampiran dan isi baru disatukan menjadi;
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Setelah
sampiran dan isi pantun dijadikan satu, maka jadilah pantun yang mempunyai
sampiran dan isi. Yang dimana pantun tersebut memiliki makna yang sesuai dengan
tema.
Demikian halnya
jika membuat pantun teka-teki. Misalnya membuat teka-teki tentang parut, salah
satu alat dapur yang berfungsi untuk memarut kelapa guna diambil santannya.
Jika diperhatikan dengan teliti ada keanehan mengenai cara kerja parut, hal
inilah yang dapat mengilhami kepada semua orang untuk membuat teka-teki, yaitu
mata parut yang sedemikian banyak itu, cukup tajam. Daging kelapa yang sudah
disediakan, dirapatkan ke mata parut, lalu digerakkkan dari atas ke bawah
sambil ditekan. Dari pergerakan itu semua, seperti layaknya orang menyapu,
dapat dilihat, daging kelapa itu tertinggal diantara mata parut. Semakin gerakan
menyapu dilakukan, daging kelapa itu semakin banyak dimata-mata parut.
Logikanya, orang menyapu tentu lantai akan menjadi bersih, tetapi sebaliknya
sangat berbeda dengan bidang bangun parut. Semakin disapu, semakin kotor karena
banyaknya daging kelapa yang menyangkut dimata parut. Dari sini dapat dibuatkan
inti pantunnya, yaitu Semakin disapu, semakin kotor.
Tugas
selanjutnya ialah membuat sampiran. Untuk membuat sampiran, boleh membuat yang
sederhana, yaitu hanya untuk mencari persamaan bunyi (bersajak) tanpa
mengindahkan makna atau arti atau keterkaitan dengan isi seolah satu kesatuan
kalimat yang saling mendukung. Jika ingin membuat sampiran yang sederhana, hal
yang dilakukan ialah mencari kosa kata yang bersuku akhir tor atau
paling tidak or. Misalnya kantor, setor, dan motor. Jika
sudah mendapatkan kosa kata untuk membuat akhiran pantun yang sesuai dengan
kata kotor, langkah selanjutnya ialah menentukan letak inti
pertanyaannya. Apakah diletakkan dibaris ketiga atau baris keempat. Jika
diletakkan pada baris ketiga, kalimat baris keempat dapat dibuat sebagai
berikut: apakah itu, cobalah terka. Sehingga hasilnya menjadi:
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Sekarang
barulah mencari sampirannya. Suku akhir tor atau or dari kata kotor
dapat diambil salah satu saja, misalnya kata kantor, kemudian tinggal
mencari suku kata yang berakhir ka dari kata terka, yang
merupakan kata terakhir dari baris terakhir. Untuk kata yang bersuku akhir ka,
dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya bingka, ketika,
sangka, nangka, dan luka. Misalnya diambil kata bingka.
Sekarang kata kantor dan bingka baru dijadikan sampiran, menjadi:
Pagi-pagi pergi ke kantor,
Singgah ke warung beli bingka.
Kemudian antara
sampiran dan isi baru disatukan, hasilnya menjadi:
Pagi-pagi pergi ke kantor,
Singgah ke warung beli bingka.
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Jadilah pantun
teka-teki. Dan jawaban pantun teka-teki itu, tentulah parutan kelapa.
Jika inti
pertanyaan diletakkan pada baris keempat, kalimat baris ketiga sebagai berikut:
Jika pandai kenapa bodoh.
Sehingga
hasilnya menjadi:
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Langkah
selanjutnya ialah membuat sampirannya agar lengkap menjadi sebait pantun. Suku
akhir kata kantor yang bersajak dengan kata kotor dapat digunakan
lagi, sekarang tinggal mencari suku akhir doh, yang akan bersajak dengan
kata bodoh. Misalnya kata jodoh sehingga jika dibuatkan
sampirannya, menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
Mencari jodoh sampai ke kantor.
Langkah
terakhir baru disatukan antara isi dan sampirannya sehingga menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
Mencari jodoh sampai ke kantor.
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Dan jawaban
dari pantun teka-teki tersebut tentunya ialah parutan kelapa.
D.
Teknik
Berpantun
Teknik
berpantun atau yang biasa kita kenal dengan mendeklamasikan pantun berarti
membaca pantun untuk orang lain. Oleh karena itu teknik membacanya harus; (1)
Dengan suara yang lantang; (2) Dengan pelafalan yang tepat dan jelas; (3)
Dengan intonasi yang baik; dan (4) Penghayatan. Penghayatan terhadap isi pantun
diwujudkan dalam ekspresi wajah (mimik) dan gerak-gerik anggota tubuh.
Cara
membaca pantun lazimnya setiap baris dipenggal menjadi dua bagian yang sama
atau hampir sama. Misalnya, baris pantun berbunyi burung merpati terbang ke
hutan, di penggal menjadi burung merpati dan terbang ke hutan. Di antara
penggalan itu, perlu ditambahkan jeda (berhenti) ynag cukup lama, dengan
intonasi tertentu, kemudian melanjutkan penggalan berikutnya. Sering juga
pembacaan pantun dilakukan dengan cara dilagukan. Lagunya sederhana sekali,
sesuai dengan selera si pembaca pantun.
E.
Penilaian
Berpantun
Penilaian
berpantun pada dasarnya menilai suatu ketepatan dan keindahan dalam berpantun. Untuk
mengahsilkan ketepatann dan keindahan dalam berpantun diperlukan pantun yang
baik, pantun yang antara sampiran dan isinya saling berkesinambungan, tidak
hanya semata-mata utnuk menyamakan bunyi.
Adapun pantun
yang baik ialah pantun suku akhir kata kedua sampiran pertama bersajak dengan
suku akhir kata kedua dari isi yang pertama. Apalagi suku akhir kata keempat
dari sampiran pertama seharusnya bersajak dengan suku akhir kata keempat isi
pertama, karena disinilah nilai persajakan dalam pantun itu yaitu baris pertama
sama dengan baris ketiga dan baris kedua sama dengan baris keempat. Misalnya
dalam pantun dibwah ini,
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Jika menginginkan suku akhir kata
kedua baris pertama dengan suku akhir kata kedua dari baris ketiga bersajak
juga. Begitupun dengan suku akhir kata kedua baris kedua dengan suku akhir kata
kedua baris keempat bersajak agar terlihat lebih indah bunyinya, maka
sampirannya harus diubah, menjadi;
Daun nipah jangan diarak,
bawa ke ladang di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Tidak
hanya sekedar menilai kesinambungan antara sampiran dan isi serta bagian sajak
dalam setiap barisnya saja, namun penilaian dalam pelafalan, penghayatan, dan
perasaan ketika pantun disampaikan secara lisan juga perlu dinilai. Karena padu
padan antara pantun dan pembawaannya yang akan membuat pantun menjadi indah di
dengar dan di indah dirasa. Ketika orang yang mendengar pantun sudah merasakan
keindahan dalam penyampaian pantun, tentunya penyampaian isi atau maksud dari
pantun tersebut dapat mudah sampai kapada orang yang dituju.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pantun adalah puisi asli Indonesia. Yang
tiap bait (kuplet) biasa terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b)
tiap larik biasanya berjumlah empat kata, baris pertama dan baris kedua
biasanya sampiran dan baris ketiga dan keempat merupakan isi, setiap baris
terdiri dari 8-12 suku kata. Dalam pembuatannya terikat oleh aturan-aturan
tersebut. Pantun sangat disukai oleh orang Indonesia. Pantun juga salah satu
karya sastra yang masuk untuk semua kalangan dan semua usia.
B. Saran
Ilmu tentang kesusastraan hendaknya
bisa selalu digali dan dipelajari serta diterapkan, khususnya tentang pantun oleh
para sastrawan, ilmuan dan lebih spesifik lagi oleh mahasiswa bahasa dan sastra
Indonesia, serta untuk para calon guru SD. Melalui pembelajaran sejak dini
diharapkan pantun bisa dipahami dan bisa dilestarikan oleh para generasi muda
bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Effendy, Tenas.2004. Tunjuk Ajar dan Pantun
Melayu. Yogyakarta: BKPBM dan Adicita
Hidayati, Inoer. 2007. Kumpulan Pantun. Yogyakarta : Indonesiatera
Sugiarto, Eko. 2009. Mengenal Pantun dan Puisi Lama. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Widya, Wendi R.D. 2008. Serba
Serbi Pantun. Klaten: PT.Intan Pariwara
0 komentar:
Posting Komentar